Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antarpribadi. Sebagai makhluk sosial, peserta didik senantiasa melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Interaksi sosial menjadi faktor utama dalam hubungan interpersonal antara dua orang atau lebih saling memengaruhi. Menurut Knapp (1984), interaksi sosial dapat menyebabkan seseorang menjadi dekat dan merasakan kebersamaan, namun sebaliknya, dapat pula menyebabkan seseorang menjadi jauh dan tersisih dari suatu hubungan interpersonal. Bagi peserta didik, interaksi sosial terjadi pertama kali di dalam keluarga.
Hubungan dengan Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial yang terkecil yang memiliki peranan penting dan menjadi dasar bagi perkembangan psikososial anak dalam konteks sosial yang lebih luas.
Karakteristik Hubungan Anak Usia Sekolah dengan Keluarga
Hubungan orang tua dan anak akan berkembang dengan baik apaila kedua belah pihak saling memupuk keterbukaan. Berbicara dan mendengarkan merupakan hal yang sangat penting. Perkembangan yang dialami anak sama sekali bukan alasan untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan di masa kecilnya. Hal ini justru akan membantu orang tua dalam menjaga terbukanya jalur komunikasi.
Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada usia sekolah, anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya.perubahan in mempunyai dampak yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak usia sekolah dan orang tua mereka. Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal kehidupan mereka.
Dengan demikian, meskipuyn terjadinya pengurangan pengawasan dari orang tua terhadap anakny selama usia sekolahd asar, bukan berarti orang tua sama sekali melepaskan mereka. Sebaliknya, orang tua masih terus memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri mereka, sekalipun secara tidak langsung.
Perubahn-perubahan ini berperan dalam pembentukan streotip pengasuhan dari orang tua sepanjang usia sekolah dasar. Stereotip pengasuhan ini juga tidak mempertimbangkan hubungan emosional yang mendasari aktivitas-aktivitas tersebut.
Karakrter Hubungan Remaja dengan Keluarga
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang tua-remaja. Salam satu ciri yang menonjol dari remaja yang memegaruhi relasinya dnegan orang tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis. Karema remaja meluangkan lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide. Perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri.
Keterkaitan dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis. Keterkaitan yang kokoh dengan orang tua akan meningkatkan relasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten dan hubungan erat yang positid di luar keluarga, juga dapat menyangga remaja dari kecemasan dan perasaan-persaaan depresi sebagai akibat dari masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewaasa.
Begitu pentingnya faktor keterkaitan yang kuat antara orang tua dan remaja dalam menentukan arah perkembangan remaha, mka orang tua senantiasa harus menjaga dan mempertahankan keterkaitan ini. Untuk mempertahankan keterkaitan dan kedekatan orang tua dengan anak remaja mereka, orang tua harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang. Hanya dengan cara melepaskan mereka suatu kehidupan yang koeksistensi yang penuh kedamaian dan makna antara orang tua dan remaja dapat dicapai. Dengan perkataan lain, bahwa ketika remaja menuntut otonomo, mata orang tua yang bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang di mana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal, di samping terus memberikan bimbingan untuk mengmbil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang di mana pengetahuan anak remajanya masih terbatas.
Hubungan dengan Teman Sebaya
Teman sebaya (peer) mempunyai fungsi yang hampir sama dengan orang tua. Teman bisa memberikan ketenangan ketika mengalami kekhawatiran. Tidak jarang terjadi seorang anak yang tadinya penakut berubah menjadi pemberani berkat teman sebaya.
Karakristik Hubungan Anak Usia Sekolah dengan Teman Sebaya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker dan Wright, mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10% dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20%. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 meluangkan lebih dari 40% waktunya untuk berintraksi dengan teman sebaya.
Pembentukan Kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak usia sekolah ini terjadi dalam grup atau kelompok, sehingga periode ini seting disebut “usia kelompok”. Anak tidak lagi puas bermain sendirian di rumah atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota keluarga. Hal ini adalah karena anak memiliki keinginann yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Rubin dan Krasnor (1980) mencatat bahwa perubahan sifat dari kelompok teman sebaya pada anak usia sekolah. Ketika anak berusia 6 hingga 7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih daripada kelompok bermain. Kelompok terbentuk secara spontan. Ketika anak berusia 9tahun, kelompok-kelompok menjadi lebih formal. Anak-anak berkumpul menurut minat yang sama dan merencanakan perlombaan-perlombaan.
Popularitas, Penerimaan Sosial dan Penolakan
Pada anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara.
Sosiometri yaitu suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menentukan status dan penerimaan sosial anak di antara teman sebayanya. Sosiogram menentukan mana anak-anak yang diterima oleh anak-anak lain, mana yang diterima oleh sedikit teman sekelas dan mana anak yang tidak diterima oleh seorang pun. Para peneliti membedakan anak-anak atas dua, yaitu anak-anak yang populer (popular) dan anak-anak yang tidak popeler (unpopular).
Anak yang populer. Populeritas seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup (1983) mencatat bahwa anak yang populer adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka secara sosial dans angat mudah bekerja sama dengan orang lain. Asher er al., dapat menjamin interaksi sosial dengan mudah, memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi dalam hubungan antar pribadi dan cenderung bertindak dengan cara-cara yang koopertif, prosossial, serta dengan IQ dan prestasi akademik. Anak-anak lebih menyikai anak yang memeliki prestasi sedang, mereka sering menjauh dari anak yang sangat cerdas dan sangat rajin di sekolah, demikian juga halnya dengan mereka yang pemalas secara akademis (Zigler dan Stevenson, 1993).
Anak yang tidak populer: dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu: anak-anak yang ditolak (rejected children), dan anak-anak yang diabaikan (neglected children). Anak-anak yang diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tetapi bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Anak-anak yang ditolak adalah anak-anak yang tidak disukai oleh teman- teman sebaya mereka. Mereka cenderung bersifat mengganggu, egois dan mempunyai sedikit sifat-sifat positif.
Anak-anak yang ditolak kemungkinan untuk memperlihatkan perilaku agresif, hiperaktif, kurang perhtian atau ketidakdewasaan, sehingga sering bermasakah dalam perilaku dan akademis di sekolah.
Persahabatan
McDevitt dan Ormrod, mendefinisikan persahabatan sebagai “Peer relationship that is voluntary and reciprocal and includes shared routines and customs.”
McDeviit dan Ormrod, terdapat tida kualitas yang membedakan persahabatan dengan bentuk hubungan teman sebaya lainnya, yaitu :
1. They are voluntary relationship (adanya hubungan yang dibangun atas dasar sukarela)
2. They are powered by shared routines and customs (hubungan persahabatan dibangun atas dasar kesamaan kebiasaan)
3. They are reciprocal relationship (persahabatan dibangun atas dasar hubungan timbal balik).
Menurut Santrock, karakteristik yang paling umum dari persahabatan adalah keakraban (intimacy) dan kesaman (similarity). Intimacy dapat diartikan sebagai penyingkapan diri dan berbagai pemikiran pribadi. Keakraban ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat.
Persahabatan memainkan peranan yang penting dalam perkembangan psikososial anak (Rubin, 1980), di antaranya :
1. Sahabat memberi kesempatan kepada anak untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu. Sahabat mengajarkan pada anak mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, sehingga anak memperoleh pengalaman belajar untuk mengenai kebutuhan dan minat orang lain, serta bagaimana bekerjasama dan mengelola konflik dengan baik.
2. Persahabatan memungkinkan anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain, karena anak biasnaya menilai dirinya berdasarkan perbandingan dengan anak lain.
3. Persahabatan mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok. Pada usia 10-11 tahun, kelompok menjadi penting. Anak menemukan sebuah organisasi sosial yang tidak hanya terdiri atas sekumpulan individu, tetapi juga mencakup adanya peran-peran, partisipasi kolektif dan dukungan kelompok untuk melakukan aktivitas-aktivitas kelompok.
Santrock menyatakan enam fungsi penting dari persahabatan, yaitu :
1. Sebagai kawan (companionship), di mana persahabatan memberi anak seorang teman yang akrab, teman yang bersedia meluangkan waktu bersama mereka dan bergabung dalam melakukan kegiatan-kegiatan bersama.
2. Sebagai pendorong (stimulation), di mana persahabatan memberikan pada anak informasi-informasi yang menarik, kegembiraan dan hiburan
3. Sebagai pendukung fisik (phycical support), di mana persahabatan memberi waktu, kemampuan-kemampuan dan pertolongan.
4. Sebagai dukungan ego (ego supprot) di mana persahabatan menyediakan harapan atau dukungan, dorongan dan umpan balik yang dapat membantu anak mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik dan berharga.
5. Sebagai perbandingan sosial (social comparison), di maman persahabatan menyediakan informasi tentang bagaimana cara berhubungan dengan orang lain dan apakah anak melakuna sesuai dengan baik.
6. Sebagai pemberi keakraban dan perhatian (intimacy/affection), di mana persahabatan memberikan anak-anak suatu hubungan yang hangat, erat, saling mempercayai dengan anak lain yang erkaitan dengan pengungkapan diri sendiri.
Hetheringon dan Parke, menggambarrkan tiga tahap perkembangan gagasan anak tentang persahabatan, yaitu :
1. Reward-cost stage (7-8 tahun). Pada tahap ini akan menyebutkan ciri-ciri sahabat sebagai teman yang menawarkan bantuan, melakukan kegiatan bersama-sama, bisa memberikan ide-ide, bisa bergabung dalam permainan, menawarkan judgement, dengan secara fisik dan memiliki kesamaan demografis.
2. Normative stage (10-11 tahun). Anak mengharapkan sahabatnya bisa menerima dan mengagumi dirinya setia dan memberikan komitmen terhadap persahabatan, serta mengekspresikan nilai dan sikap yang sama terhadap aturan-aturan dan sanksi.
3. Emphatic stage (11-13 tahun). Anak mengharapkan kesungguhan dan potensi intimacy dari sahabat; mengharapkan sahabat untuk memhami dan terbukaan terhadap dirinya; mau menerima pertolongannya, berbagai minat dan mempertahankan sikap dan nilai yang sama
Karakteristik Hubungan Remaja dengan Teman Sebaya
Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka.
Hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan, Menurut Bloss,pembentukan persahabatan remaj erat kaitannya dengan peruahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan padadiri sendiri dan munculnya phallic conflict. Erikson (1968) memandang tren perkembangan ini dari perspektif normative-life-crisis, di mana teman memberikan feedback dan informasi yang konstruktif tentang self-definition dan penerimaan komitmen.
Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan, menekankan bahwa melalui hubungan teman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang simetris. Anak mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman sebaya. Mereka juga mempelajari secara aktif kepentingan-kepentingan dan perspektif teman sebaya dalam rangka memuliskan integrasi dirinya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan.
Santrock dan Hartup memcatat bahwa pengaruh teman sebaya memberikan fungsi-fungsi sosial dan psikologis yang penting bagi remaja. Teman sebaya yang harmonis selama masa remaja, dihubungkan dengan kesehatan mental yang positif pada usia setengah baya (Hightower, 1990). Secara lebih rinci, Kelly dan Hansen menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu :
1. Mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara lain selain dengan tindakan agresif langsung.
2. Memperoleh dorongan emosional dan emosi serta menjadi lebih independen. Memberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja pada dorongan remaja mereka.
3. Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar utnuk mengekspresikan perasaan-perasan dengan cara-cara yang lebih matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan serta mengembangkan kemampuan mereka memecahkan masalah.
4. Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Sikap-sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya.
5. Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Remaja mencoba mengambil keputusan atas diti mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki oleh teman sebayanya, serta memutuskan mana yang benar.proses ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka.
6. Meningkatkan harga diri (self-esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumah besar teman-teman sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang dirinya
Bagi sebagian remaja, ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya, menyebabkan munculnya perasaan kesepian atau permusuhan. Penolakan oleh teman sebaya dihubungkan dengan kesehatan mental dan problem kejahatan.
Meskipun selama masa remaja kelompok teman sebaya memberikan pengaruh yang besar, namun orang tua memainkan peranan yang penting dalam kehidupan remaja. Karena antara hubungan dengan orang tua dan hubungan dengan teman sebaya memberikan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dalam perkembangan remaja.
Hubungan dengan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan artifisial yang sengaja dibentuk guna mendidik dan membina generasi muda ke arah tujuan tertentu, terutama untuk membekali anak dengan pengetahuan dan kecakapan hidup (life skill) yang dibutuhkan di kemudian hari.
Santrock (1988), berbagai peristiwa hudup yang dialami oleh remaja selama berada di sekolah sangat mungkin memengaruhi perkembangannya, seperti perkembangan identitasnya, keyakinan terhadap kompetensi diri sendiri, gambaran idup dan kesempatan berkarir, hubungan-hubungan sosial, batasan mengenai hal-hal yang benar dan salah, serta pemahaman mengenai bagaimana sistem sosial yang ada di luar lingkup keluarga berfungsi.
Dusek (1991) ada dua fungsi sekolah bagi remaja, yaitu pertama, memberi kesempatan bagi remaja untuk tumbuh secara sosial dan emosional. Kedua, membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi dan menjadi anggota masyarakat yang produktif.
Sekolah mempengaruhi perkembangan anak, terutama perkembangan identitas, melalui dua kurikulum, yaitu kurikulum formal dan kurikulum informal.
Jadi, di samping keluarga dan teman sebaya, sekolah juga memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Interaksi dengan guru dan teman sebaya di sekolah, memberikan suatu peluang yang besar bagi remaja untuk mengembangkan kemamuan kognitif dan keterampilan sosial, memperoleh pengetahuan tentang dunia, serta mengembangkan konsep diri yang lebih positif.
Keberhasilan atau kegagalan remaja di sekolah, banyak mendapat dukungan dan penguatan yang positif dari para guru, maka mereka akan merasa berhasil dan senang berada di sekolah.
Gage menunjukkan beberapa sifat guru yang diasosiasikan dengan keberhasilan siswa di sekolah, yaitu antusiasme, mampu membuat perencanaan, bersikaptenag, mampu beradaptasi, fleksibel dan menyadari akan perbedaan-perbedaan individual. Erik Erikson menyatakan bahwa guru yang bauk adalah guru yang dapat menciptakan suatu sense of industry dan bukan inferiority bagi para siswanya
thanks artikelnya. . .
BalasHapusizin copy ya... :)
Izin vopc ka🙏
BalasHapus